Kamis, 29 Januari 2009

Sukses Ujian

Kiat Sukses Ujian
Ujian Akhir Nasional sering dijadikan sosok yang menakutkan bagi para siswa, sebetulnya kalau kita sudah mempersiapkan diri sebaik baiknya kita tidak perlu takut menghadapi ujian tersebut, selain persiapan diri dengan belajar dan menjaga kesehatan tubuh dengan cukup makan dan istirahat, selain itu siapkan alat tulis yang terbaik untuk mengadapi ujian.
1. Persiapkan diri anda dengan belajar dan cukup makan dan istirahat.
2. Perhatikan dan baca dengan teliti instruksi yang diberikan.
3. Gunakan alat tulis yang berkualitas.
Dan jangan lupa gunakan peralatan yang berkualitas, pensil,karet penghapus untuk lebih jelasnya klik ini Pensil Ujian Ya.. tapi jangan lupa belajar yang serius .. klik ini Soal Ujian Online

Selasa, 27 Januari 2009

UJIAN SUDAH DEKAT


SOAL SOAL UJIAN ON LINE
(http://www.invir.com/)
Ujian adalah salah satu jenjang yang harus ditempuh siswa untuk meraih tingkat yang lebih tinggi, dari SD harus menempuh Ujian untuk masuk ke jenjang SMP/MTs, untuk masuk ke SMA harus dengan Ujian begitu selanjutnya. Jika gagal dalam Ujian maka kekecewaan lah yang kita dapatkan. Untuk memperoleh predikat lulus harus melalui suatu proses pembelajaran yang intensif diantaranya sering mengerjakan soal soal yang mengacu ke SKL atau pun kisi kisi soal Ujian yang telah disebarkan Oleh BSNP. Berikut beberapa soal soal online latihan persiapan ujian: Klik ini Soal Ujian Online
atau anda penggemar Bahasa Inggris klik ini Soal B.Inggris Online Setelah di klik pilih jenjang sekolah SD,SMP atau SMA silahkan jawab secara online dan untuk melihat jawaban benar atau salah serta nilai klik periksa kotak periksa kanan bawah. Selamat Berjuang semoga anda lulus dengan nilai yang memuaskan.

Kamis, 22 Januari 2009

BELAJAR MATEMATIKA

Membuat Belajar Matematika Menjadi Bergairah
window.google_render_ad();
Hasil Penelitian The Third International Mathematic and Science Study Repeat (TIMSS-R) pada tahun 1999 menyebutkan bahwa di antara 38 negara, prestasi siswa SMP Indonesia berada pada urutan 34 untuk matematika. Sementara hasil nilai matematika pada ujian Nasional, pada semua tingkat dan jenjang pendidikan selalu terpaku pada angka yang rendah. Keadaan ini sangat ironis dengan kedudukan dan peran matematika untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan, mengingat matematika merupakan induk ilmu pengetahuan dan ternyata matematika hingga saat ini belum menjadi pelajaran yang difavoritkan.Rasa takut terhadap pelajaran matematika (fobia matematika) sering kali menghinggapi perasaan para siswa dari tingkat SD sampai dengan SMA bahkan hingga perguruan tinggi. Padahal, matematika itu bukan pelajaran yang sulit, dengan kata lain sebagaimana dituturkan oleh ahli matematika ITB Iwan Pranoto, setiap orang bisa bermatematika. Menurut Iwan, masalah fobia matematika kerap dianggap sangat krusial dibandingkan bidang studi lainnya karena sejak SD bahkan TK, siswa sudah diajarkan matematika. �Kalau fisika, baru diajarkan di tingkat SMP. Karena itu, fobia fisika menjadi tidak begitu krusial dibandingkan matematika,�. Apalagi Kimia yang baru diajarkan ketika tingkat SMA.Fobia MatematikaPernah dalam suatu diskusi ada pertanyaan �unik�. Apa kepanjangan dari Matematika? Dalam benak saya, apa ada kepanjangan Matematika, selama ini yang diketahui kebanyakan orang, Matematika adalah tidak lebih dari sekedar ilmu dasar sains dan teknologi yang tentunya bukan merupakan singkatan. Setelah berfikir agak lama hampir mengalami kebuntuan dalam berfikir akhirnya Nara Sumber menjelaskan, bahwa Matematika memiliki kepanjangan dalam 2 versi. Pertama, Matematika merupakan kepanjangan dari MAkin TEkun MAkin TIdak KAbur, dan kedua adalah MAkin TEkun MAkin TIdak KAruan. Dua kepanjangan tersebut tentunya sangat berlawanan.Untuk kepanjangan pertama mungkin banyak kalangan yang mau menerima dan menyatakan setuju. Karena siapa saja yang dalam kesehariannya rajin dan tekun dalam belajar matematika baik itu mengerjakan soal-soal latihan, memahami konsep hingga aplikasinya maka dipastikan mereka akan mampu memahami materi secara tuntas. Karena hal tersebut maka semuanya akan menjadi jelas dan tidak kabur. Berbeda dengan kepanjangan versi kedua, tidak dapat dibayangkan jika kita semakin tekun dan ulet belajar matematika malah menjadi tidak karuan alias amburadul. Mungkin kondisi ini lebih cocok jika diterapkan kepada siswa yang kurang berminat dalam belajar matematika (bagi siswa yang memiliki keunggulan di bidang lain) sehingga dipaksa dengan model apapun kiranya agak sulit untuk dapat memahami materi matematika secara tuntas dan lebih baik mempelajari bidang ilmu lain yang dianggap lebih cocok untuk dirinya dan lebih mudah dalam pemahamannya.Terkait dengan rasa apriori berlebihan terhadap matematika ditemukan beberapa penyebab fobia matematika di antaranya adalah yang mencakup penekanan belebihan pada penghafalan semata, penekanan pada kecepatan atau berhitung, pengajaran otoriter, kurangnya variasi dalam proses belajar-mengajar matematika, dan penekanan berlebihan pada prestasi individu. Oleh sebab itu, untuk mengatasi hal ini, peran guru sangat penting. Karena begitu pentingnya peran guru dalam mengatasi fobia matematika, maka pengajaran matematika pun harus dirubah. Jika sebelumnya, pengajaran matematika terfokus pada hitungan aritmetika saja, maka saat ini, guru-guru harus meningkatkan kemampuan siswa dalam bernalar dengan menggunakan logika matematis.Sekedar diketahui bahwa matematika bukan hanya sekadar aktivitas penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian karena bermatematika di zaman sekarang harus aplikatif dan sesuai dengan kebutuhan hidup modern. Karena itu, materi matematika bukan lagi sekadar aritmetika tetapi beragam jenis topik dan persoalan yang akrab dengan kehidupan sehari-hari.Dari aspek psikologi, menurut psikolog Alva Handayani, peranan orang tua pun dibutuhkan untuk mengatasi fobia matematika. Menurutnya, mengajar matematika bukan sekadar mengenal angka dan menghafalnya namun bagaimana anak memahami makna bermatematika. Orang tua harus memberi kesempatan anak untuk bereksplorasi, observasi dalam keadaan rileks. Para orang tua tidak perlu khawatir dengan kemampuan matematika para putra-putri mereka. Yang terpenting dalam menumbuhkan cinta anak pada matematika adalah terbiasanya anak menemukan konsep matematika melalui permainan dalam suasana santai di rumah dalam rangka mempersiapkan masa depan anak.�Jika anak sering menemukan orang tua menggunakan konsep matematika, anak akan menangkap informasi tersebut dan akan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti, pengaturan uang saku dan tabungan hingga pengaturan jadwal kereta api atau penerbangan,�Tetapi, yang penting untuk diketahui dan dijadikan pegangan adalah bahwa matematika itu merupakan ilmu dasar dari pengembangan sains (basic of science) dan sangat berguna dalam kehidupan. Dalam perdagangan kecil-kecilan saja, orang dituntut untuk mengerti aritmetika minimal penjumlahan dan pengurangan. Bagi pegawai/karyawan perusahaan harus mengerti waktu/jam, Bendaharawan suatu perusahaan harus memahami seluk beluk keuangan. Ahli agama, politikus, ekonom, wartawan, petani, ibu rumah tangga, dan semua manusia �sebenarnya� dituntut menyenangi matematika yang kemudian berupaya untuk belajar dan memahaminya, mengingat begitu pentingnya dan banyaknya peran matematika dalam kehidupan manusia.Fakta menunjukkan, tidak sedikit siswa sekolah yang masih menganggap matematika adalah pelajaran yang bikin �stress�, membuat pikiran bingung, menghabiskan waktu dan cenderung hanya mengotak-atik rumus yang tidak berguna dalam kehidupan. Akibatnya, matematika dipandang sebagai ilmu yang tidak perlu dipelajari dan dapat diabaikan. Selain itu, hal ini juga didukung dengan proses pembelajaran di sekolah yang masih hanya berorientasi pada pengerjaan soal-soal latihan saja. Hampir belum pernah dijumpai proses pembelajaran matematika dikaitkan langsung dengan kehidupan nyata. Menyikapi hal ini, menurut hemat penulis dalam rangka menyelamatkan �nyawa� matematika, maka satu hal yang segera dilakukan adalah bagaimana membuat siswa senang untuk belajar matematika?Peran Guru dalam Pembelajaran MatematikaSecara umum, tugas guru matematika di antaranya adalah: Pertama, bagaimana materi pelajaran itu diberikan kepada siswa sesuai dengan standar kurikulum. Kedua, bagaimana proses pembelajaran berlangsung dengan melibatkan peran siswa secara penuh dan aktif, dalam artian proses pembelajaran yang berlangsung dapat berjalan dengan menyenangkan. Merupakan tantangan bagi guru matematika untuk senantiasa berpikir dan bertindak kreatif di tengah kegelisahan dan keterpurukan nasib guru. Namun, penulis yakin masih banyak pendidik yang menanggapi ke�lesu�an hidup tersebut dengan sikap optimistik dan penuh tanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban sebagai guru.Masalah pada tahap pertama, yakni menyampaikan materi sesuai dengan tuntutan standar kurikulum. Pembelajaran matematika, yang dirumuskan oleh National Council of Teachers of Matematics atau NCTM (2000) menggariskan, bahwa siswa harus mempelajari matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.Untuk mewujudkan hal itu, sebagaimana dalam tulisan Yaniawati (2006) dirumuskan ada lima tujuan umum pembelajaran matematika, yaitu: pertama, belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); kedua, belajar untuk bernalar (mathematical reasoning); ketiga, belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); keempat, belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections); dan kelima, pembentukan sikap positif terhadap matematika (positive attitudes toward mathematics). Semua itu lazim disebut mathematical power (daya matematika).Sedangkan masalah pada tahap kedua, menetapkan model pembelajaran yang efektif. Pada dasarnya atmosfer pembelajaran merupakan hasil sinergi dari tiga komponen pembelajaran utama, yakni siswa, kompetensi guru, dan fasilitas pembelajaran. Ketiga komponen tersebut pada akhirnya bermuara pada area proses dan model pembelajaran. Model pembelajaran yang efektif dalam pembelajaran matematika antara lain memiliki nilai relevansi dengan pencapaian daya matematika dan memberi peluang untuk bangkitnya kreativitas guru. Kemudian berpotensi mengembangkan suasana belajar mandiri selain dapat menarik perhatian siswa dan sejauh mungkin memanfaatkan momentum kemajuan teknologi khususnya dengan mengoptimalkan fungsi teknologi informasi.Berorientasi pada SiswaAgar tujuan pembelajaran Matematika dapat tercapai maksimal, maka harus diupayakan agar semua siswa lebih mengerti dan memahami materi yang diajarkan daripada harus mengejar target kurikulum tanpa dibarengi pemahaman materi. Dalam prakteknya, pembelajaran berorientasi pada siswa ini dapat dilaksanakan dengan cara pendampingan siswa satu persatu atau per kelompok. Penjelasan materi dan contoh pengerjaan soal diberikan secara klasikal di depan kelas. Kemudian ketika siswa mengerjakan latihan soal guru (beserta asistennya) keliling untuk memperhatikan siswa secara personal. Tugas guru adalah membantu siswa agar dapat menyelesaikan tugasnya sampai benar. Siswa yang pandai akan mendapat perhatian yang kurang sementara siswa yang lemah akan mendapat perhatian yang lebih intensif.Hal yang paling esensial ketika mendampingi (terutama bagi yang berkemampuan rendah) adalah menumbuhkan keyakinan dalam diri siswa bahwa saya (baca: siswa) bisa dan mampu mengerjakan soal. I can do it. Guru harus berusaha menghilangkan persepsi dalam diri siswa bahwa matematika itu sulit dan mengusahakan agar siswa memiliki pengalaman bahwa belajar matematika itu mudah dan menyenangkan. Kiranya model pembelajaran ini dapat berjalan efektif jikalau kapasitas siswa setiap ruang adalah berkisar 15 � 20 siswa. Tetapi jika lebih, maka pembelajaran model yang demikian tetap dapat berlangsung namun harus dibantu oleh beberapa guru atau asisten.Belajar Matematika yang MenyenangkanUsaha selanjutnya adalah mengusahakan bagaimana agar suasana ruang kelas yang digunakan untuk belajar siswa adalah kondusif. Dengan kata lain tata letak perabot kelas tidak harus diatur secara �formal�. Sering kita jumpai, ada siswa yang malas belajar ketika harus duduk tenang dan serius. Mereka lebih senang dan nyaman ketika belajar sambil tidur-tiduran di atas karpet. Menyikapi hal ini guru sebaiknya memberi kebebasan kepada siswa untuk belajar atau mengerjakan soal latihan di atas bangku atau di lantai.Ada juga siswa yang dalam belajarnya harus mendengarkan musik. Memang, musik tidak berkaitan langsung dengan matematika. Musik bukan merupakan alat peraga dalam pembelajaran matematika. Namun musik memainkan peran dalam membantu untuk menciptakan kenyamanan belajar di kelas. Musik hanya merupakan pengiring ketika para siswa mengerjakan soal. Sehingga musik dapat membuat siswa lebih nyaman ketika belajar matematika. Namun, dalam hal ini etika dan menghargai teman lain juga perlu diperhatikan. Rasanya tidak mungkin jika dalam satu kelas tersebut lalu guru memberi kebebasan kepada siswa membawa tape, radio yang berukuran besar. Tapi, hal ini dapat dilakukan misalnya memberi izin kepada siswa untuk menggunakan walkman, atau lainnnya yang penting tidak mengganggu konsentrasi siswa lainnya.Selain tersebut, dijumpai juga siswa yang senang �ngemil� atau makan-makanan yang ringan seperti permen, kerupuk atau lainnya. Menyikapi siswa yang demikian tentunya guru juga tidak dapat melarang serta merta kepada siswa untuk makan di dalam kelas. Pada intinya, apapun yang dapat menjadikan siswa nyaman dan senang untuk belajar matematika sebaiknya oleh sang guru tidak dilarang secara keras. Berikan kebebasan bergerak dan befikir kepada siswa yang tentunya juga tetap dalam batas-batas kewajaran.PenutupMenyelenggarakan pembelajaran matematika secara nyaman dan dapat membuat siswa bergairah untuk mengikutinya merupakan hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi untuk menuju bangsa yang berkemampuan unggul dalam Sumber Daya Manusia (SDM). Dengan mempraktekkan strategi pembelajaran di atas diharapkan �nyawa� matematika dapat terselamatkan. Dengan kata lain, siswa tidak lagi terjangkit penyakit fobia matematika. Dengan demikian siswa menjadi senang untuk belajar matematika yang tentunya akan berdampak pada penguasaan dan pemahaman terhadap materi matematik yang merupakan ilmu dasar untuk pengembangan sains dan teknologi.
__________________

Rabu, 21 Januari 2009

JADWAL BIMBINGAN BELAJAR

BIMBINGAN BELAJAR
Untuk siswa kelas 8 SMP Negeri 2 dan SMP Negeri 1 Kotabaru yang mengikuti bimbingan intensif belajar Matematika terjadwal setiap hari
1. Senin dan Rabu pukul 15.30 - 16.30 ( siswa SMP Negeri 2 Kotabaru)
2. Selasa pukul 16.00 -17.00 dan Rabu pukul 16.30 - 17.30( siswa SMP Negeri 1 Kotabaru)

BELAJAR MENYENANGKAN


Belajar yang Menyenangkan
Shelfie Tjong, S.Psi.

Belajar lagi, belajar lagi……..bosan ahh…….!”, gerutu sebagian besar anak-anak saat disuruh belajar. Biasanya mereka juga tidak langsung menurut bila disuruh belajar, tapi berusaha menghindar dengan berbagai alasan. Mereka lebih tertarik untuk bermain atau menonton Doraemon atau mengikuti berbagai kegiatan lain daripada harus belajar. Bukan hanya ini saja kesulitan yang dihadapi orangtua. Sejak pagi hari orangtua sudah cukup dibuat repot saat membangunkan anak-anak untuk sekolah, tugas yang barangkali lebih sulit daripada pekerjaan di kantor.
Saya ingat pengalaman saya sendiri semasih kecil dulu, orangtua harus membangunkan saya berulang kali hingga saya benar-benar beranjak dari tempat tidur. Karena harus mengantri kamar mandi, sambil menunggu biasanya saya tertidur lagi. Kadang-kadang dalam keadaan baru bangun kesadaran masih belum penuh sehingga gerakan pun serba lambat, sedangkan ibu dalam kepanikannya harus mengurus banyak hal, seperti menyiapkan sarapan dan bekal untuk suami dan anak-anak serta berbagai hal kecil lainnya. Harus diakui bahwa tugas membangunkan anak untuk sekolah paling banyak menyita waktu, energi, dan emosi orangtua.
Selain pengamatan umum tentang ketidaksukaan anak terhadap kegiatan belajar ini, ada pula dukungan survai yang dilakukan oleh Tony Buzan. Tiga puluh tahun lamanya ia melakukan penelitian yang berkaitan dengan asosiasi seseorang terhadap kata “belajar”. Waktu ditanyakan kepada responden kesan apa yang muncul dalam pikiran mereka saat mendengar kata “pendidikan” atau “belajar”, jawabannya adalah “membosankan”, “ujian”, “pekerjaan rumah”, “buang-buang waktu”, “hukuman”, tidak relevan”, “tahanan”, ‘idih’….., “benci dan takut”.
Dapat disimpulkan bahwa belajar dan sekolah bukanlah hal yang menyenangkan bagi anak-anak. Padahal saat anak-anak belum cukup umur, mereka merengek-rengek mau ikut sekolah bersama kakaknya. Mereka juga senang menulis dan menggambar atau membuka-buka buku walaupun belum mengerti isinya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan anak-anak kita ini? Apakah karena belajar telah menjadi semacam pemaksaan dan beban saat anak mulai bersekolah sehingga keasyikan mereka menguasai keterampilan menjadi hilang?
Apakah Belajar Itu?
Belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang bersifat menetap melalui serangkaian pengalaman. Belajar tidak sekadar berhubungan dengan buku-buku yang merupakan salah satu sarana belajar, melainkan berkaitan pula dengan interaksi anak dengan lingkungannya, yaitu pengalaman. Hal yang penting dalam belajar adalah perubahan perilaku, dan itu menjadi target dari belajar. Dengan belajar, seseorang yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa. Kita perlu memperluas pemahaman tentang belajar tidak hanya pada pengetahuan yang bersifat konseptual, melainkan juga hal-hal yang menyangkut keterampilan serta sikap pribadi yang mempengaruhi perilaku seseorang. Ada empat area yang disentuh berkenaan dengan belajar yaitu:
1. Citra diri dan perkembangan kepribadian
2. Latihan keterampilan hidup
3. Cara berpikir atau pola pikir
4. Kompetensi atau kemampuan yang bersifat akademik, fisik, dan artistik.

Selain itu ada satu area lagi yang menurut penulis sangat penting yaitu area yang bersifat rohani, yang menyangkut pengenalan seseorang terhadap Tuhan.
Tony Buzan, seorang psikolog dari Inggris, mengatakan demikian; “Pada saat seorang anak dilahirkan, ia sebetulnya benar-benar brilian.” Sebab itu, adalah salah jika orangtua beranggapan anaknya bodoh. Bila ia dikatakan bodoh, maka kemungkinan ia akan menjadi bodoh. Saran yang diberikan adalah agar anak mendapatkan sebanyak mungkin latihan fisik yang menggunakan tangan dan kaki seperti merangkak, memanjat, dan sebagainya. Orangtua perlu memberi kesempatan pada anak-anak untuk belajar dari kesalaha, yaitu melalui trial and error (coba-salah). Anak-anak suka ber-eksperimen, mencipta, dan mencari tahu cara bekerjanya sesuatu. Mereka juga suka pada tantangan. Sebab itu penting bagi orangtua untuk memperluas dunia anak mereka, tidak terbatas hanya di rumah saja.
Anak-anak juga cenderung bertanya tentang segala hal yang tampak baru bagi mereka. Untuk itu dibutuhkan kesabaran orangtua untuk mendengarkan dan menjawab pertanyaan mereka. adalah kurang bijaksana jika orangtua menanggapi pertanyaan anak dengan mengatakan; “Sudah, kamu anak kecil nggak usah tanya-tanya, bawel amat, sih, “atau; “Kamu masih kecil, nanti sudah besar juga akan tahu sendiri.” Dalam hal ini orangtua sebenarnya sedang mematikan rasa ingin tahu anak. Padahal rasa ingin tahu ini adalah hal yang sangat penting dalam proses belajar.
Ada orangtua yang beraksi dengan cara lain, yaitu dengan tidak menghiraukan atau mendiamkan anak, atau hanya menjawab seadanya agar anak segera berhenti bertanya. Pola asuh yang demikian tentu tidak mendukung metoda CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang berusaha diterapkan di sekolah-sekolah sekarang ini. Sadar atau tidak, pola asuh orangtua atau cara guru mengajar memiliki andil dalam membentuk anak-anak kita menjadi aktif atau pasif. Bagi anak, bertanya merupakan modal dasar mereka untuk belajar.
Selain itu, anak juga banyak belajar dengan cara meniru orang dewasa. Mereka mencontoh orang dewasa dengan melihat dan mengamati, atau dengan mendengar. Karena itulah, kita tidak usah heran mendengar anak kita tiba-tiba mengucapkan kata-kata makian atau kata kasar yang tidak pernah kita ajarkan. Mungkin mereka mendengar makian itu dari pembantu, dari televisi, atau dari kita sendiri. Saat anak mengucapkan kata-kata kasar seperti itu, saat itu juga orangtua perlu memberi penjelasan tentang arti kata-kata tersebut beserta dampaknya dan berusaha mengoreksinya.

Usia Efektif Belajar.
Kapan waktu yang paling tepat bagi seorang anak untuk belajar secara optimal? Teori perkembangan kognitif Piaget memberi penekanan pada faktor kematangan atau kesiapan dalam belajar, artinya ada masanya bagi seorang anak untuk belajar sesuatu. Sebab itu adalah sia-sia jika kita mengajarkan sesuatu kepada anak sebelum waktunya. Misalnya, anak yang belum memasuki tahap perkembangan kognitif praoperasional (2-7 tahun) umumnya masih akan mengalami kesulitan dalam belajar bahasa karena belum mampu menggunakan simbol-simbol. Oleh karena itu, penganut teori Piaget berpendapat bahwa adalah sia-sia mengajar bahasa (di luar bahasa ibu) kepada anak usia di bawah lima tahun.
Namun belakangan ini berkembang teori belajar yang bisa kita baca dalam buku Accelerated Learning for the 21st Century oleh Colin Rose dan Malcolm J. Nitcholl, yang mengatakan bahwa sejak lahir sampai dengan usia 10 tahun adalah masa-masa yang sangat penting dan peka bagi anak untuk belajar. Disebutkan bahwa 50% kemampuan belajar anak dikembangkan pada masa empat tahun pertama, 30% dikembangkan menjelang ulang tahunnya yang ke-8, dan tahun-tahun yang amat penting tersebut merupakan landasan atau penentu bagi semua proses belajarnya di masa depan.
Berdasarkan teori tersebut, anak perlu diberi banyak rangsangan pada masa empat tahun pertama agar ia belajar dan menyerap banyak hal. Tahun-tahun pertama inilah yang justru merupakan saat tepat dan ideal bagi anak untuk belajar lebih dari satu bahasa. Dikatakan juga bahwa semua anak sebenarnya jenius di bidang bahasa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa saat terbaik untuk mengembangkan kemampuan belajar adalah sebelum masuk sekolah, karena sebagian besar jalur penting di otak dibentuk pada tahun-tahun awal tersebut. Dalam hal ini, orangtua memegang peranan sangat penting dalam meletakkan fondasi bagi pengembangan kemampuan belajar anak.

TIPS-TIPS PRAKTIS
Berikut adalah kiat-kiat praktis agar belajar menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi anak.
1. Ciptakan Lingkungan Tanpa Stres (Rileks).
Seorang ibu mengeluh bahwa anaknya yang baru kelas 3 SD sudah dapat mengungkapkan bahwa dirinya stres. Jika dipikir-pikir, anak-anak mendapatkan banyak tekanan, baik dari guru-guru di sekolah maupun orangtua dengan harapan-harapan yang terkadang kurang realistis demi terpenuhinya cita-cita orangtua yang dulu tidak berhasil dicapai.
Orangtua hendaknya tidak terlalu menekankan nilai, kelulusan, dan gelar, sebab hakekat belajar bukan terletak pada itu semua. Saya ingat sekali pengalaman saya sewaktu di SD. Saya sangat lemah dalam bidang matematika. Setiap kali akan ulangan matematika, orangtua saya membuatkan soal latihan banyak sekali yang mencakup seluruh materi pelajaran yang telah diajarkan. Pada hari itu saya pasti tidur sangat malam karena orangtua terus mendesak saya menyelesaikan semua soal yang ada sampai saya menangis-nangis memohon agar hal ini segera diakhiri. Hingga keesokan paginya pun, orangtua saya tetap berusaha menggunakan menit-menit terakhir bahkan terkadang sampai di gerbang sekolah pun saya masih dijejali rumus-rumus yang harus dihafalkan.
Tidak dapat disangkal bahwa akhirnya kepanikan orangtua juga menular pada diri saya sehingga betapa keras pun usaha orangtua mengajar saya, nilai saya tetap jelek, kadang-kadang pas-pasan. Yang jelas, sejak itu saya jadi agak alergi dengan pelajaran matematika.
Anak tidak bisa belajar efektif dalam keadaan stres. Syarat pembelajaran yang efektif adalah lingkungan yang mendukung dan menyenangkan. Belajar perlu dinikmati dan timbul dari perasaan suka serta nyaman tanpa paksaan. Untuk menciptakan lingkungan tanpa stres bagi anak, penting bagi orangtua agar rileks dan tidak menetapkan target atau menuntut anak melebihi kemampuannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan tuntutan dari orangtua dengan budaya yang berbeda. Orangtua dari budaya Jepang dan Cina menetapkan standar yang lebih tinggi terhadap prestasi anak, mengevaluasi dengan ketat hasil yang diperoleh, dan mendorong anak untuk bekerja lebih keras. Sedangkan orangtua Amerika lebih menekankan kemampuan dasar (IQ) anak daripada kerja keras dalam mencapai prestasi akademik. Sebenarnya perlu bagi orangtua untuk merefleksi diri dan menjawab dengan jujur pertanyaan; “Apakah yang saya lakukan ini adalah untuk kepentingan anak saya atau untuk kepentingan diri saya sendiri?”
2. Manfaat Sarana Bermain untuk Belajar.
Dunia anak adalah dunia bermain. Bermain adalah metode belajar yang paling efektif. Anak-anak belajar dari segala kegiatan yang mereka lakukan. Kuncinya adalah bagaimana mengubah kegiatan bermain menjadi pengalaman belajar. Ketika anak merasa senang dan nyaman, ia akan mampu belajar dengan baik. Bagi anak kecil yang sedang belajar menghafal kata-kata yang berlawanan seperti kata atas dan bawah, sambil bermain bola kita bisa mengucapkan “jika bola dilempar ke atas pasti akan jatuh ke bawah”, belajar kata nyala dan padam dengan memainkan lampu, belajar kata buka dan tutup melalui pintu yang dibuka dan yang ditutup, dan seterusnya. Bagi anak yang lebih besar, saat ulangan pelajaran hafalan, orangtua dapat menanyakan kembali melalui permainan tebak-tebakan dengan sistem poin. Jumlah poin yang diperoleh dapat ditukar dengan makanan kesukaannya. Yang ingin ditekankan di sini bukan pada permainan-nya, tapi kegembiraan yang menyertai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor emosi sangat penting dalam proses pembelajaran dan pendidikan. Ketika suatu pelajaran melibatkan emosi positif yang kuat, umumnya pelajaran tersebut akan terekam dengan kuat pula dalam ingatan. Untuk itu, dibutuhkan kreatifitas guru dan orangtua untuk menciptakan permainan-permainan yang dapat menjadi wadah dan sarana anak untuk belajar, misalnya melalui drama, warna, humor, dan lain-lain.
3. Gunakan Kelima Indra Anak sebagai Jalur Belajar.
Bagian neokorteks dari otak kita terbagi dalam beberapa fungsi khusus seperti fungsi berbicara, mendengar, melihat dan meraba. Kita menyimpan memori-memori indrawati di tempat yang berbeda. Jika ingin memiliki memori yang kuat, kita harus menyimpan informasi dengan mengguna-kan semua indera kita - melihat, mendengar, berbicara, menyentuh, dan membaui. Anak-anak umumnya belajar melalui pengalaman konkret yang aktif. Untuk memahami konsep ‘bulat’ yang abstrak, seorang anak perlu bersentuhan langsung dengan benda-benda bulat, apakah itu dengan cara melihat dan meraba benda bulat atau dengan cara menggelindingkan bola. Menurut Vernon A. Magnesen dalam Quantum Teaching, kita belajar 10% dari apa yang kita baca; 20% dari apa yang kita dengar; 30% dari apa yang kita lihat; 50% dari apa yang kita lihat dan dengar; 70% dari apa yang kita katakan; dan 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.
4. Pakailah Seluruh Dunia Sebagai Ruang Kelas.
Ubahlah segala sesuatu yang ada di sekitar kita menjadi pengalaman belajar. Marzollo dan Lloyd berkata demikian; “Semuanya tersedia di sekitar Anda.” Berikut ini adalah beberapa ide kreatif dari buku Revolusi Cara Belajar, oleh Gordon Dryden & Dr. Jeanette Vos: ” Belajar tentang berbagai bentuk.
Bentuk lingkaran bisa dilihat pada roda, balon, matahari, bulan, kacamata, mangkok, piring, uang logam; sedangkan persegi panjang bisa dilihat pada pintu, jendela, buku, kasur. Bujursangkar bisa dilihat di layar komputer, televisi, kotak tissu, saputangan, taplak meja; sedangkan segitiga bisa dilihat pada pohon Natal, rumah, gunung, dan tenda.
” Belanja di supermarket menjadi petualangan belajar. Sebelum belanja, minta anak-anak Anda untuk mengecek kulkas dan seluruh isi rumah, kira-kira apa saja yang dibutuhkan oleh mereka dan seluruh anggota keluarga. lalu diadakan lomba waktu berada di supermarket. Siapa yang paling cepat dan paling banyak menemukan barang-barang yang dibutuhkan, dialah yang menang. ” Belajar menghitung benda-benda nyata Minta anak untuk menghitung benda-benda yang dapat disentuhnya, misalnya; “Kamu punya satu hidung dan berapa mata? Berapa jarimu?” libatkan juga anak ketika Anda menyiapkan meja untuk dua, tiga, atau empat orang. Atau biarkan anak Anda yang menghitung uang ketika membayar di kasir.
“Belajar mengkategorikan sesuatu. Otak menyimpan informasi melalui asosiasi (persamaan) dan penggolongan atau kategori dan Anda bisa menciptakan kegiatan bermain anak sambil bekerja. Waktu Anda hendak membereskan pakaian, anak bisa diminta untuk memilah-milah berdasarkan warna pakaian, jenis pakaian, maupun pemilik. Dengan demikian, Anda dapat tetap mengerjakan tugas rumah tangga sambil anak juga belajar tentang sesuatu.
5. Pentingkan dorongan positif.
Berdasarkan penelitian, anak sejak usia dini rata-rata menerima enam komentar negatif untuk satu dorongan positif yang diterimanya. Saya kira, tingkat perbandingan dorongan positif dan negatif di Indonesia akan jauh lebih besar. Kebanyakan kita dibesarkan dalam lingkungan dengan komentar negatif yang lebih banyak daripada yang positif. Padahal dorongan positif memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membangun rasa percaya diri anak dan memacu semangat agar anak berprestasi dengan lebih baik lagi. Sebagai orangtua yang mungkin dibesarkan dalam keluarga yang lebih banyak memberikan komentar negatif, seyogyanya kita lebih berhati-hati agar kita tidak mengulang kesalahan yang sama pada anak-anak kita.
6. CINTA adalah resep penting dalam pendidikan anak.
Prof. Diamond, seorang ahli saraf, mengingatkan bahwa cinta merupakan resep paling penting dalam dunia pendidikan anak. Kehangatan dan kasih sayang adalah faktor utama dalam mendukunga perkembangan seutuhnya. Sentuhan emosi memberikan dampak besar dalam proses belajar anak.
Perlu diketahui bahwa kapasitas otak manusia tidak terbatas. Seseorang bisa terus belajar sejak lahir sampai akhir hidupnya. Menurut Antonia Lopez, “Tugas utama orang dewasa adalah menyediakan sebanyak mungkin kesempatan yang sesuai dengan tingkat umur dan mengembangkannya secara bertahap.” Otak pun akan mampu bekerja secara efektif bila digunakan secara teratur. Ada pepatah kuno berbunyi demikian; “If you don’t use it, you lose it”-Jika tidak digunakan, Anda akan kehilangan otak Anda.